Di
Pecinan tua bernama Peunayong, etnis minoritas Tionghoa melewati
berbagai kisah kelam. Mereka tersisih, terasing jauh dari tanah leluhur.
Tapi, berbagai ujian tak mampu melunturkan rasa cinta mereka pada Aceh.
Di negeri ini, mereka lahir dan ingin menghembuskan nafas terakhir.
GELOMBANG pengusiran setelah gagalnya kudeta Partai
Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965 menjadi catatan paling kelam dalam
perjalanan hidup etnis Tionghoa di Banda Aceh. Sejak saat itu,
ketentraman mereka terusik, hidup di balik bayang-bayang diskriminasi.
Catatan milik Pusat Latihan dan Penelitian Ilmu Sosial Darussalam
Banda Aceh, yang ditulis tahun 1976, menyebutkan pada tahun 1964 jumlah
warga Tionghoa yang tinggal di Banda Aceh 6.334 orang. Dari jumlah itu,
hanya 750 orang tercatat sebagai warga negara Indonesia. Sisanya, 5.584
orang terdiri dari warga negara Republik Rakyat Cina (RRC) dan kelompok stateless (warga Republik Tionghoa Nasionalis Taiwan).
Dari jumlah itu, 70 persen warga turunan Cina yang menetap di Banda
Aceh berdarah Hakka (Khek), sedangkan 30 persen lainnya Hokkian dan
Kanton (Kwong Fu), beragama Budha, aliran kepercayaan Konfusius
(Konghucu) dan Kristen. Mereka umumnya tinggal di Peunayong, bagian dari
wilayah Banda Aceh yang didesain Belanda sebagai Chinezen Kamp alias Pecinan.
Di kota tua ini, sejak dulu, Tionghoa dikenal sebagai pekerja
tangguh. Tempo dulu, Tionghoa di Banda Aceh bekerja sebagai buruh
pertambangan, pelabuhan, perkebunan, buruh kontrak kebun karet dan
lainnya. Sebagian uang hasil kerja sehari-hari ini ditabung. Karena
gigih bekerja, banyak di antara mereka lebih cepat kaya ketimbang
pribumi. Tabungan itu kemudian jadi modal untuk membeli tanah dan
membuat toko. Pelan-pelan mereka membuka usaha dagang, sambil tetap
bekerja sebagai buruh. Ketika uang mereka benar-benar cukup, maka
beralihlah pekerjaan mereka dari pekerja kasar menjadi pedagang barang
dan jasa, dengan memanfaatkan tempat usaha sendiri.
Sama seperti di daerah lain di Indonesia, sebelum tahun 1965 Tionghoa
di Aceh menguasai sebagian besar lapangan pengusahaan barang dan jasa.
Mereka bahkan merambah hingga ke usaha kecil, seperti berjualan di
pasar, kios makanan ringan, rumah makan, warung kopi, penatu (dobi),
tukang cukur, warung kelontong, agen sayur dan peternakan babi. Usaha
skala besar, Tionghoa membuat perusahaan pemborongan (konstruksi),
pedagang interinsulir, swalayan, studio foto, ekspor-impor komoditi dan
perusahaan angkutan.
Sebelum tahun 1966, Tionghoa di Banda Aceh memiliki sekolah sendiri,
yang disesuaikan dengan agama dan kepercayaan atau status
kewarganegaraan. Tionghoa warga negara Indonesia punya lembaga
pendidikan berupa sekolah yang dibangun oleh Badan Permusyawaratan
Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), Tionghoa warga negara RRC punya
sekolah bernama Chung Hua Chung Hui, sedangkan kelompok stateless
juga punya lembaga pendidikan khusus yang terletak di Peunayong. Bahasa
pengantar dan aksara yang digunakan di sekolah itu yakni Tionghoa,
sehingga banyak dari mereka yang tidak fasih berbahasa Indonesia.
Sekolah-sekolah milik Tionghoa itu berstatus swasta, yang dibiayai oleh
organiasasi paguyuban masing-masing. Maka, mereka tidak menerima
anak-anak pribumi Aceh.
Di masa itu, etnis Tionghoa tinggal berkelompok, tersebar di Jalan
Perdagangan, Jalan Diponegoro, Jalan Mohammad Jam dan lain-lain.
Kelompok lain tinggal di kawasan Seutuy. Ada juga yang tinggal di
kampung-kampung, tapi tentu mereka juga membuat kelompok kecil. Jarang
ada Tionghoa memeluk Islam dan menikahi pribumi Aceh.
Hidup sebagai minoritas dalam masyarakat Aceh, dengan perbedaan
budaya dan agama, tidak membuat etnis Tionghoa di Banda Aceh
terkungkung. Mayoritas muslim bisa menerima perbedaan ini. Tapi,
persaingan dagang kemudian ikut menjadi pemicu terjadinya sejarah kelam
konflik antara mereka dengan pribumi.
Gelombang eksodus
Luasnya lapangan pengusahaan milik Tionghoa di Banda Aceh kemudian
memicu kompetisi, yang kemudian menyebabkan usaha-usaha milik pribumi
mundur. Menurut pakar sosiologi, Wartheim, kompetisi ini disebut sebagai
“the trading minority”, yakni Tionghoa sebagai golongan minoritas menguasai sebagian besar lapangan pengusahaan berbasis perdagangan.
Kompetisi usaha antara Tionghoa dan pribumi di Banda Aceh berjalan lama, sehingga menimbulkan prejudice,
saling mencurigai dan konflik terpendam, yang akhirnya menimbulkan
ketegangan. Tapi, semua ini tidak sampai memicu konflik fisik. Hidup
Tionghoa dan pribumi terus langgeng, hingga akhirnya pengkhianatan
Partai Komunis Indonesia (PKI) membuyarkan semuanya.
Pada masa itu orang Tionghoa di Aceh, yang cenderung bersikap angkuh
dan terlalu berorientasi kepada nasionalisme negeri leluhurnya di Cina,
dituduh sebagai pendukung PKI dan dicurigai ikut mendanai “Gerakan 30
September”, terutama yang masih berstatus warga negara asing. Maka,
prasangka buruk yang sudah lama terpendam berubah menjadi konflik fisik
terbuka.
Terjadilah aksi massa untuk mengusir etnis Tionghoa. Menurut laporan
penelitian Pasifikus Ahok (1976), pengusiran itu dipelopori oleh
Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dan Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI). Aksi ini dibantu oleh Resimen Mahasiswa
(Menwa) yang didukung Kodam I Iskandar Muda. Pengusiran ini kemudian
dikuatkan dengan ultimatum Panglima Kodam Iskandar Muda, Brigadir
Jenderal Ishak Djuarsa, yang memerintahkan agar etnis Tionghoa
meninggalkan Aceh sebelum 17 Agustus 1966. Pengumuman itu disebarkan
pada 8 Mei 1966.
Menurut laporan tahunan milik Kodam Iskandar Muda (edisi 1966),
sepanjang awal April hingga pertengahan Agustus 1966 jumlah warga
Tionghoa yang hengkang dari Banda Aceh menuju Medan 2.146 orang. Dari
jumlah itu, 1.698 orang di antaranya diberangkatkan oleh Komando Sektor
Pertahanan (Kosekhan) Banda Aceh dalam beberapa tahap sebelum peringatan
ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1966. Sisanya 448
orang berangkat sendiri dengan menyewa puluhan bus.
Pengusiran bukan hanya terjadi di Banda Aceh. Dari seluruh Aceh,
sedikitnya ada 15.000 warga Tionghoa yang eksodus. Di Medan, mereka
tinggal di penampungan di Pulau Berayan, Suka Mulia dan Binjai. Pada masa itu banyak aset-aset komunitas Tionghoa diambil alih dan
disita, seperti gedung sekolah SMA Negeri 2 dan SMP Negeri 4 yang
sebelumnya bekas sekolah Tionghoa di Banda Aceh. Demikian juga gedung di
kawasan Pusong Lhokseumawe, yang pernah menjadi SMEA Negeri dan PGA
Negeri, atau Gedung Ampera di Langsa, yang juga pernah menjadi SMEA dan
Komisariat KAPPI di Aceh Timur. Akibat sentimen anti-Tionghoa yang keras
pada saat itu, banyak warga Tionghoa meninggalkan Aceh.
Ibarat bebas dari mulut singa malah diterkam buaya. Di Medan pun,
tembok-tembok penuh dengan coretan-coretan seperti “Orang-orang Cina,
pulang…!” dan “Sekali Cina, tetap Cina…!”. Etnis Tionghoa masih diteror.
Berbagai organisasi massa di sana juga menuntut pemerintah mengusir
semua warga Tionghoa dari Sumatera Utara dan Indonesia.
Ketika politik dalam negeri Indonesia mulai stabil dan sentimen
mereda, warga Tionghoa berangsur-angsur kembali ke Aceh. Menurut sebuah
catatan, Tionghoa berstatus warga negara Indonesia mengawali kepulangan
mereka pada tahun 1970, terutama ke Banda Aceh. Tionghoa yang sudah
menjadi warga Indonesia lebih mudah kembali dan menetap di Banda Aceh,
sedangkan Tionghoa warga negara asing hanya bisa masuk ke kota ini
dengan memanfaatkan visa kunjungan.
Kesulitan terkait izin untuk menetap kembali di Aceh akhirnya mulai
bekurang sejak tahun 1975. Pada tahune-tahun berikutnya etnis Tionghoa
mulai menemukan kembali ketenangan yang dulu tercabik-cabik. Perlahan
mereka menata kembali kehidupan sosial dan perekonomian, hingga bisa
kembali berdampingan dengan pribumi Aceh.
Konflik dan tsunami
Sentimen anti-Tionghoa kembali muncul ketika Indonesia memasuki zaman
reformasi. Kondisi ini terimbas hingga ke Aceh. Pada pertengahan 1999,
ketika Indonesia masih terkapar setelah dihantam krisis moneter,
Tionghoa di Aceh kembali ikut menjadi sasaran. Peristiwa ini kembali
memicu gelombang eksodus kecil, tidak sedahsyat tahun 1966.
Waktu itu, kelompok tertentu di Aceh memanfaatkan isu nasionalisme
untuk melampiaskan rasa iri mereka kepada etnis Tionghoa, apalagi etnis
minotitas ini cenderung tidak kelabakan saat krisis moneter melanda.
Sayangnya, banyak pemuda, pelajar dan mahasiswa tersulut oleh sentimen
sesaat itu.
Sentimen pada era reformasi ini membuat massa beringas. Toko-toko
milik Tionghoa dijarah dan dibakar. Peristiwa ini terjadi di beberapa
daerah di pesisir utara dan timur Aceh, tempat sebaran terbanyak etnis
Tionghoa, yakni Langsa, Lhokseumawe, Bireuen dan Banda Aceh. Di pesisir
barat, jumlah warga turunan Cina sedikit, dan sentimen terhadap mereka
tidak sampai “membara”.
Ketegangan ini cuma sesaat. Pada tahun berikutnya sentimen
anti-Tionghoa teredam oleh konflik bersenjata antara Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia. Di masa konflik ini
Tionghoa di Aceh, terutama di Banda Aceh, bisa hidup lebih tenang karena
mereka tidak menjadi sasaran langsung konflik.
Sayangnya, ketentraman itu hanya dirasakan sesaat. Ujian besar bagi
Tionghoa terjadi lagi. Bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004,
yang merenggut lebih 200 ribu nyawa, membuat Banda Aceh luluh lantak.
Pecinan bernama Peunayong “ditelan” gelombang. Hampir seribu orang
Tionghoa di kota ini meninggal dunia pada bencana Minggu pagi itu.
Gelombang pengusiran setelah pengkhianatan PKI yang gagal, sentimen
di era reformasi dan bencana tsunami telah menguji kesetiaan etnis
Tionghoa pada kota tua ini. Di sini, mereka sudah merekam
catatan-catatan kelam. Cuma romantisme sejarah yang bisa membuat mereka
bertahan.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !